Karangasem - Bali terkenal sebagai pulau seribu pura. Maka tak heran, terdapat banyak destinasi pura yang patut didatangi. Salah satu yang sangat terkenal di Bali adalah Pura ini terletak di Bali timur, tepatnya di Kabupaten Karangasem dan berjarak sekitar 19 kilometer dari Gunung Agung. Pura Lempuyang terkenal memiliki ribuan anak tangga untuk sampai dari laman resmi Pemkab Karangasem, Pura Lempuyang memiliki beberapa versi sejarah menurut warga sekitar. Paling terkenal adalah tentang arti nama Pura Lempuyang. Pura ini berasal dari kata "lampu" yang memiliki makna sinar dan "hyang" bermakna Tuhan. Nama Lempuyang berarti sinar suci dari tuhan yang ini diperkuat dengan posisi pura yang terletak di timur Pulau Bali. Di mana lokasi ini merupakan permulaan matahari mencapai Pura Lempuyang, wisatawan dapat melalui Kota Denpasar. Diperlukan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan. Pilih jalur di kawasan wisata Candi Dasa melewati itu, wisatawan juga dapat memilih rute Kecamatan Selat. Rute ini dapat ditempuh dari Semarapura dengan arah jalan ke Tiket MasukWisata religi di Pura Lempuyang dikenakan biaya masuk. Tiket masuk untuk wisatawan domestik Rp per tiket masuk wisatawan asing Rp per orang. Sementara tarif parkir Rp untuk mobil dan Rp untuk sepeda lempuyang memiliki keunikan tersendiri dibanding pura lain. Untuk mencapai pura utama di puncak Lempuyang, wisatawan harus menapaki lebih dari anak akan dimanjakan udara sejuk dari hutan yang masih asri di sepanjang jalan menaiki tangga. Ditambah lagi suara-suara satwa dan pemandangan alam ketahanan fisik untuk mencapai puncak karena terdapat belukar bertebaran di antara pohon-pohon tropis. Namun, kicauan burung dan kera-kera liar menjadi hiburan saat SeruSetelah sampai di puncak Pura Lempuyang, wisatawan akan disuguhkan pemandangan Gunung Agung yang sangat indah. Manfaatkan untuk berfoto dan mengabadikan momen penggemar trekking, tentu ini merupakan pengalaman yang tidak boleh dilewatkan. Tapi perlu diingat, pengunjung Pura Lempuyang wajib menggunakan kain sembahyang untuk menjaga kesucian pura. Jika tidak membawa, wisatawan dapat menyewanya di sekitar area perempuan yang sedang dalam masa haid atau orang yang dalam keadaan cuntaka memiliki kerabat yang meninggal disarankan tidak datang ke area pura. Jadi gimana? Tertarik untuk melakukan wisata religi ke Pura Lempuyang?Artikel ini ditulis oleh Dewa Gede Kumara Dana peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom. Simak Video "Melihat Keindahan Pura Lempuyang yang Eksotis" [GambasVideo 20detik] irb/irb
Kumpulan berita pura lempuyang - Turis Ini Kecewa Refleksi Gates of Heaven di Pura Lempuyang Bali Hanya Tipuan Visual
Tag Archives pura lempuyang Sejarah Pura Telaga Mas Posted by on January 10, 2019 Image by Gunung Lempuyang adalah salah satu kawasan suci di Bali. Bahkan dalam pengider buana tanah Bali, Lempuyang merupakan salah satu kayangan utama atau sad kayangan. Gunung Lempuyang memiliki sejarah panjang dan sangat penting dalam kaitannya dengan peradaban tanah Bali serta manusia Bali yang mendiaminya. Dari kaki sampai ke puncak gunung banyak terdapat pura-pura sebagai tempat menghubungkan diri kehadapan sang maha pencipta. Hal ini menandakan bahwa Gunung Lempuyang sejak jaman dahulu merupakan tempat melakukan pertapaan. Untuk melakukan persembahyangan di Gunung Lempuyang, maka ada banyak jalur menuju pura Lempuyang. Yang banyak ditempuh saat ini adalah jalur Purwa Ayu yangmana melalui jalur ini akan didahului dengan perembahyangan di Pura Penataran Luhur Lempuyang yang sangat megah, terbuat dari batu paras putih. Setelah melakukan persembahyangan di sini, pemedek yang ingin ke Lempuyang Luhur bisa melanjutkan perjalanan dengan beberapa tahap persembahyangan. Yakni yang pertama akan menuju ke Pura Telaga Mas. Setelah sembahyang di Pura Telaga Mas, kemudian pemedek biasanya menuju ke Pura Lempuyang Madya. Namun sebelum mencapai Pura Lempuyang Madya, pemedek akan melewati beberapa buah pura yakni Pura Pesaraman Dukuh yang terletak dekat dengan Telaga Mas. Lalu beberapa saat kemudian melewati pura dari kelompok keluarga atau soroh Sang Bagus Ngakan. Dari sini perjalanan melanjut ke Pura Telaga Sawang. Di sini para pemedek akan melakukan peersembahayangan sebelum melakukan persembahyangan di Pura Lempuyang Madya. Dari Lempuyang Madya kemudian melanjutkan persembahyangan ke Pura Bukit Bisbis. Dari bukit Bisbis menuju ke Pura Pasar Agung dan selanjutnya menuju ke Pura Lempuyang Luhur. Dalam perjalanan menyusuri Gunung Lempuyang, umat paling tidak akan melakukan persembahnyang di tujuh tempat yakni Pura Penataran, Pura Telaga Mas, Pura Telaga Sawang, Pura Lempuyang Madya, Pura Bukit Bisbis, Pura Pasar Agung, dan Pura Lempuyang Luhur. Pura ini adalah pura paling awal ditemui ketika akan menuju Puncak Lempuyang. Pura ini adalah sebagai pura Beji atau Pura Petirtan dari Ida Betara di Lempuyang Luhur. Menurut penuturan Jero Mangku Buncing salah seorang pemangku yang ngayah di pura ini, Pura ini adalah awalnya merupakan sebuah pancuran dari rembesan air Gunung Lempuyang yang membentuk sebuah pancuran air atau telaga. Di tempat ini terdapat pelinggih yakni padma capah sebagai linggih dari Ida Betara Gangga. Di sampingnya dilengkapi dengan sebuah bale piyasan atau bale tajuk sebagai tempat berstana Ida Betara ketika Ida Betara mehias dan mesuci. Tentang air pancuran atau rembesan dari puncak Gunung Lempuyang memang tak pernah kering sepanjang tahun. Air rembesan tersebut membentuk sebuah telaga yang dilengkapi dengan tunjung / teratai dan ikan. Selain sebagai petirtan dari Ida Betara Lempuyang Luhur, pura ini juga sebagai tempat penglukatan atau penyucian bagi pemedek yang akan menuju ke Lempuyang Luhur. Dan mengenai odalan di pura ini bersamaan dengan petirtan Ida Betara di Lempuyang Luhur yakni pada hari Umanis Galungan. Pada saat bersembahyang di Pura Telaga Mas, maka pemedek akan disambut oleh suara merdu bagaikan kicauan burung begitu ramai. Dari kejauhan terdengar seperti gemericik air pancuran yang jatuh di atas batu. Namun sejatinya bukan kicauan, burung tetapi suara dari sekawanan katak penghuni telaga mas yang jumlahnya ratusan. Mereka saling bersahutan menyerupai suara burung berkicau. Katak tersebut memang hanya ada di telaga mas Gunung Lempuyang. Ukurannya kecil, berwarna keemasan, sehingga penulis menyebutnya sebagai katak emas. Katak-katak emas ini hanya tinggal di pura telaga mas, mengisi hari-harinya dengan bersukaria dengan kawanannya sambil menyayi-nyanyi di atas daun tunjung. Bagi pemedek yang tangkil ke Lempuyang, mesti menyempatkan diri untuk melihat keindahan katak emas Lempuyang, sambil mendengar merdunya suara para katak unen-unen Ida Betara Lempuyang. Dari berbagai sumber. Artikel lain Pura Lempuyang Pura Lempuyang Posted by admin on May 27, 2012 Pura Lempuyang Luhur terletak di Bukit Gamongan, pada puncak bukit Bisbis atau Gunung Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem. Terletak lebih kurang 22km dari Kota Amlapura, kearah utara melewati Tirtagangga menuju Desa Ngis di Kecamatan Abang, kemudian membelok ketimur menuju Desa Purahayu. Kendaraan bermotor hanya bisa sampai di Desa Ngis, selanjutnya kita akan berjalan kaki menuju Desa Purahayu dan kemudian berjalan diatas bukit menuju Pura yang berada di puncak bukit Bisbis, waktu tempuh kurang lebih 3 jam. Menurut Upadeca, bila dihubungkan dengan “Pura-Pura” Sad Kahyangan di Bali, maka Pura Lempuyang Luhur adalah termasuk salah satu dari lima Pura Kahyangan Jagat lainnya. Pura Lempuyang Luhur adalah kedudukan Dewa Içwara dan terletak di ufuk Timur penjuru mata angin di Bali. Hal ini dapat dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga beserta tempatnya dan senjatanya masing-masing. Jadi jelaslah bahwa Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai penjaga/pemelihara arah sebelah timur dengan dewa Içwara sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun dewa yang dipuja adalah Bethara Agnijaya Hyang Gnijaya sebagai manefestasinya Hyang Widhi, oleh karena Bhtara Agnijaya disejajarkan fungsi serta peranannya dengan Brahma, Wisnu, Indara dan Shambu maka dapatlah dimengerti bahwa Bhatara Agnijaya adalah identik dengan Içwara yaitu Dewa Asthadhipalaka yang berada di penjuru Timur. Nama Sang Hyang Agnijaya yaitu putra dari Sang Hyang Parameçwara maksudnya sebagai manefestasi dari Hyang Widhi juga ada disebutkan di dalam Lontar DewaPurana Bangsul. Pura-Pura yang berada di Bukit Gamongan yang ada hubungannya dengan Pura Lempuyang Luhur adalah Pura Desa Purahayu, Pura Telaga Mas dan Pura Pasar Agung. Pengemong Pura Lempuyang Luhur adalah seluruh anggota”krama Desa” dari Desa Purahayu, sedangkan penyungsungnya adalah segenap masyarakat Bali yang beragama Hindu dan Masyarakat Hindu di pulau Lombok termasuk umat Hindu di seluruh Indonesia serta masyarakat Tionghoa di Bali. Upacara Piodalan Pura Lempuyang Luhur jatuh pada hari Kamis Umanis wuku dungulan atau Umanis Galungan yakni setiap enam bulan bali sekali 210 hari. Adapun urutan upacara piodalan pada Pura Lempuyang Luhur adalah sama dengan upacara pada Pura Sad Khayangan lainnya. Dari puncak Lempuyang pemandangan sangat indah, kelihatan pantai Amed dan Desa Culik, arah Timur terlihat Gunung Seraya, dan Gunung Agung pun nampak sangat indah. Tidak heran jika Pura Lempuyang juga di datangi oleh wisatawan lokal maupun manca negara.
CandiLempuyang juga merupakan bagian dari Sah Kahyangan ( enam candi dunia ),yang didedikasikan untuk Tuhan tertinggi "Sang Hyang Widi Wasa." ada tujuh tingkatan candi,seperti Besakih dan Tanah Lot,lempuyang juga merupakan salah satu pulau yang "berhubungan dengan sembilan candi" berfungsi sebagai pelindung Bali dari roh roh jahat.
Bali terkenal dengan pulau Seribu Pura, sehingga tidak mengherankan anda bisa menemukan dengan mudah keberadaan pura tersebut. Sejumlah pura juga merupakan warisan budaya masa lalu yang menyimpan berbagai kisah sejarah dan keunikan tersendiri. Salah satunya adalah Pura Lempuyang Luhur, pura ini sangat populer dan dikenal oleh kalangan warga Hindu di Bali, karena merupakan salah satu pura penting yang ada di pulau Dewata Bali. Bahkan sejumlah wisatawan juga tertarik dengan keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, walaupun harus mendaki dan trekking menuju puncak Gunung Lempuyang, namun tentunya akan memberikan pengalaman baru yang istimewa, oleh sebab itulah Pura Lempuyang Luhur ini bisa melengkapi peta wisata di kawasan Bali Timur. Disebutkan dalam sejumlah prasasti kuno dan lontar, bahwa 3 buah pura besar sering disebut diantaranya Pura Besakih, Ulun Danu Batur dan juga Pura Lempuyang Luhur, dan pura tempat pemujaan agama Hindu tersebut diduga adalah pura tertua di Bali, yang diperkirakan sudah ada sejak jaman Pra Hindu Buddha. Pura Lempuyang Luhur sendiri terletak di Puncak Bukit Bisbis atau di kenal dengan Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem. Pura Lempuyang Luhur diyakini sebagai stana Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manisfestasinya sebagai Sang Hyang Geni Jaya atau dewa Iswara, dalam pura Sad Kahyangan di Bali menempati arah mata angin bagian Timur. baca juga pura Penataran Agung Lempuyang >>>> Perlu diketahui juga, wisatawan banyak mengenal nama Pura Lempuyang, kalau tujuan mereka untuk wisata foto dengan suguhan pemandangan indah Gunung Agung, maka tempat yang dimaksud adalah Pura Penataran Agung Lempuyang. Penataran Agung terletak di desa Purwayu, pura ini juga terletak di kawasan Gunung Lempuyang tapi terletak di lareng gunung, sedangkan pura Lempuyang Luhur terletak di puncak gunung. Pura Penataran Agung Lempuyang memang sekarang ini sedang hits dan populer sebagai tujuan wisata tour di wilayah Bali Timur Karangasem, pura menyuguhkan pemandangan alam yang indah, dari sini anda bisa menyaksikan keindahan Gunung Agung, alamnya cantik dan instagramable. Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti sinar suci tuhan yang terang benderang. Letaknya pada sisi Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra, simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan. baca juga objek wisata pura di Bali >>>> Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar dusun yang ada di sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut seperti Banjar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga, dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil. Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa India. Kemudian potongan puncak Gunung Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok. Bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan, Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang, Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu. lanjut baca sejarah Pura Uluwatu >>>> Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang Luhur memang memiliki status penting akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih. Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang. Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut, sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. baca juga jenis pura di Bali dan fungsinya >>>> Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu dan Jumenang. Di pura ini ada Tirta Pingit yang berasal dari air suci dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan upacara-upacara besar, mereka nunas memohon Tirta Pingit tersebut di Pura Lempuyang Luhur. Akses atau jalur menuju Pura Lempuyang Luhur Pura Lempuyang Luhur, berada di puncak gunung Lempuyang, di kawasan gunung ini sendiri terdapat banyak tempat suci pura. Pada saat anda menuju atau menapaki jalan menuju puncak, maka anda akan bertemu sejumlah pura, sesuai jalur atau rute searah yang anda lalui. Ada 4 jalur atau rute menuju Pura Lempuyang Luhur. Rute yang populer adalah dari desa Purwayu yang mana pada jalur ini ada juga pura Penataran Agung Lempuyang yang menjadi salah satu objek wisata populer di wilayah Karangasem yang juga dikenal sebagai “the Gate of Heaven” karena keindahan pemandangan alam dari pura tersebut. baca juga paket Lempuyang Tour di bali Timur >>>> Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar anak tangga, ketemu dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung dan terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung penyawangan dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat. Sejumlah pantangan atau Larangan di Pura Lempuyang Luhur Sesuai dengan keyakinan umat dan juga arahan dari Jro Mangku, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yang merupakan pantangan ataupun larangan bagi mereka yang ingin bersembahyang ataupun hanya wisata ke Pura Lempuyang Luhur, berikut infonya; Sarana persembahyangan tidak boleh menggunakan sarana pisang emas. Tidak boleh mengajak anak yang sedang menyusui atau yang belum tanggal gigi. Dilarang memakai perhiasan dari emas. Pantang berbicara kasar, tidak sopan dan bilang “lelah” atau “capek”. Larangan bagi mereka yang sedang haid dan cuntaka ada keluarga meninggal. Pantangan membawa daging babi. Demikian sejumlah pantangan dan larangan yang perlu diperhatikan, jika hendak tangkil datang sembahyang ke Pura Lempuyang Luhur, dan hendaknya sejak awal ada niat bersembahyang hati dan pikiran kemudian perkataan dan perbuatan harus disucikan, agar semua berjalan dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. *dikutip dari berbagai sumber.
Setibanyabeliau di Gunung Lempuyang, segera beliau merapalkan " wedastawa ", menyembah terdengar gemuruh suara genta beliau dengan mengedepankan " pasepan " tampak mengepul asapnya " pasepan " sampai ke langit, ditaburi berbagai kembang serta weda panjaya-jaya, seram tampaknya seluruh penjuru kemudian keluarlah Batara Gnijaya yang
Akhir tahun 2015, usai menyelam sehari di sekitaran area Padangbai, mencoba menjelajah area Karangasem, Bali Timur. Konon, daerah Karangasem ini memang merupakan kawasan peradaban tertua di Bali. Salah satu yang menarik dan direferensikan saat itu adalah Pura Lempuyang dan Desa Adat Tenganan. Jika Pura Besakih merupakan kompleks pura terbesar di Bali, nah kalau Pura Lempuyang ini memiliki status yang sama pentingnya dengan Pura Besakih. Bahkan Pura Lempuyang ini diduga paling tua keberadaaanya di Bali. Lempuyang sendiri berasal dari kata “lampu”, yang artinya sinar dan “hyang” untuk menyebut Tuhan, sehingga Lempuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang benderang. Komplek Pura Lempuyang ini terdiri dari tujuh pura yang terletak di lereng Gunung Lempuyang. Menarik sekaligus menantang, dan masih jarang wisatawan yang singgah ke sana. Lebih banyak didominasi oleh penduduk lokal yang berkunjung untuk berdoa. Karena buat masyarakat Hindu Bali, selayaknya, mereka memang harus pernah dan menyempatkan diri untuk sembahyang di Pura ini. Ternyata, akhir-akhir ini, area penataran Pura Lempuyang, menjadi tempat yang instagrammable dan sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara, untuk berpose di antara gapura dan jika beruntung langit sedang cerah, dapat latar pemandangan gunung Agung di belakangnya. Jadilah, pertengahan tahun 2018, datang kembali mengajak teman, untuk berburu foto di halaman pura tersebut, karena sebelumnya datang sendirian dan lebih menikmati perjalanan hingga ke puncak gunung Lempuyang. Tiba di area parkiran Pura Lempuyang, sudah disambut oleh pemandangan sebuah pura yang cukup megah. Namun pengunjung harus lapor dulu dan membayar tiket, sebelum benar-benar masuk dan melihat pura megah tersebut. Di sana tersedia pemandu lokal yang siap mengantar. Beliau menjelaskan gambaran rutenya, dimana nanti akan ada persimpangan, yang satu bisa langsung menuju ke pura Lempuyang Luhur, yang berada di puncak gunung Lempuyang, dan satu lagi rute panjang, dimana pengunjung bisa melewati ketujuh pura yang ada di lereng gunung tersebut. Waktu yang diperlukan lebih kurang tiga sampai empat jam dengan jalan santai. Saat itu, ingin sekali didampingi pemandu, hanya sekedar demi memotret diri, tapi karena terlalu mahal, akhirnya nekad jalan sendiri, dan diberi peta jalan, agar tidak tersesat nantinya. Oh ya, seperti layaknya pura lainnya di Bali, kita wajib memakai sarung, meski sudah pakai celana panjang, dipadu dengan busana atasan yang sopan atau berlengan. Boleh bawa sarung sendiri atau sewa di loket masuk. Matahari masih ada di sisi timur, masih pagi dan teriknya belum terlalu menyengat, ketika memulai langkah masuk ke pura yang pertama, Pura Penataran Lempuyang. Pura yang besar dan megah, yang sudah tampak sejak di lokasi parkiran tadi. Beberapa bapak-bapak berseragam kaos hijau sedang membersihkan area pelataran. Mereka bukan tukang sapu, tapi paguyuban umat Hindu di sekitar pura yang kerja bakti pagi itu. Mereka selesai sembahyang dan memungut sampah di halaman depan pura, kemudian berfoto bersama. Alhasil jadi tukang foto dadakan dech, padahal maksud hati ingin difotokan, hehehe… Dari pura pertama ke pura berikutnya cukup jauh jaraknya. Jalan penghubungnya masih berupa aspal dan bisa ditempuh dengan ojek sebenarnya, namun pagi ini membiarkan memberi pemanasan pada kaki, sebelum benar-benar naik ke puncak. Pura kedua adalah Pura Telaga Emas, tidak jauh dari lokasi parkiran ojek, titik terakhir dimana kendaraan boleh naik. Puranya ditandai dengan warna emas pada atapnya. Sepagi ini, sudah ada sekelompok penduduk lokal yang sembahyang di sana. Setelah dari Pura Telaga Emas, jalanan mulai tertata rapi berupa undakan tangga dari semen dengan kanan kiri pohon, mulai terasa suasana hutan. Jangan khawatir tersesat, ikuti saja jalannya, sampai menemukan pertigaan, seperti yang dikatakan pemandu di awal. Panah satu menuju Lempuyang Luhur, atau langsung menuju puncak, panah satu lagi menuju Lempuyang Madya, dengan rute panjang. Kanan kiri jalan mulai tampak warung yang menjajakan minuman segar dan makanan. Namun karena langkah masih belum jauh, sehingga diniatkan untuk lanjut jalan saja. Tidak jauh dari pertigaan tersebut, ketemulah dengan Pura Telaga Sawang. Pura kecil namun mulai terasa berpijak di ketinggian. Depan gapuranya menghadap ke lereng bukit, sehingga warna hijau daun dan langit biru berpadu dengan cantik. Sudah jauh dari pemukiman warga dan hiruk pikuk kota. Melangkah lagi dengan santai dan menikmati udara pegunungan, akhirnya sampai di Pura Lempuyang Madya. Komplek puranya cukup luas dan banyak penduduk lokal yang sedang berdoa di sana. Salah seorang pemangku adat mengundang masuk ke padepokan dan menawarkan jajanan berupa buah-buahan segar. Ngiler sich, namun berusaha menolak dengan halus, karena sungkan, hehehe…. Setelah ngobrol banyak, pemangku menawarkan ikut temannya yang hendak berjalan naik, giliran tugas memimpin doa di puncak, katanya. Pemangku tampaknya khawatir membiarkan seorang perempuan jalan sendiri menuju ke puncak. Namun karena tidak ingin menjadi beban, akhirnya memilih berjalan santai dan menjaga jarak dengan teman pemangku tersebut. Menikmati alam tanpa dikejar target dan waktu. Jalanan dari Lempuyang Madya terus menanjak, namun tetap melewati rute rapi dengan tanjakan berupa semen. Rute tangga yang tertata rapi ini, menjadi penunjuk jalan yang sangat efektif. Tidak banyak sampah ditemukan di jalanan, karena kebanyakan pendatang adalah orang lokal yang niatnya berdoa dan sangat menjaga alam ini. Semoga, wisatawan lain yang ingin mencoba berkunjung setelah membaca ini, tetap bisa menjaga kebersihannya ya. Banyak tempat sampah disediakan di kanan kiri jalan, jadi manfaatkanlah. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya tiba di tulisan Puncak BisBis. Terpikir bahwa area puncak sudah dekat setelah ini, namun ibu-ibu di warung dekat Puncak Bisbis berkata bahwa ini masih separu perjalanan, masih jauh untuk sampai puncak. Dan mereka menawarkan untuk jalan bareng, karena setelah ini, rutenya merupakan kawasan geng monyet alias banyak monyet hutan yang siap “ngompas” di tengah jalan. Setelah menunggu mereka berdoa sejenak di Pura Puncak Bisbis, akhirnya perjalanan dilanjutkan. Salut juga, beberapa peserta rombongan ini ada yang umurnya 60 tahun lebih tapi masih kuat jalan. Meski melangkah dan menapaki tangga perlahan, namun mereka tetap semangat. Sambil sesekali memotret wajah mereka, menjadi hiburan tersendiri buat mereka untuk mengusir lelah. Saat berhenti sejenak untuk tarik nafas dan istirahat, mereka menawarkan bekal cemilan. Solo traveler never alone bukan, hehhehe… Jalanan terus menanjak, sampai akhirnya tiba di gapura besar. Menarik nafas lega, karena jalanan tampak habis, seolah ini adalah puncaknya. Ternyata salah. Ini adalah pura Pasar Agung dan menuju puncak masihlah perjuangan, karena di balik pura tersebut, terdapat jalur menanjak lagi untuk menuju puncak. Rombongan ibu-ibu masih istirahat dan sembahyang, sehingga saatnya ijin pamit dan membiarkan kaki ini lanjut melangkah mengejar rasa penasaran. Jalanan masih saja rapi dengan tangga dan sempat ketemu sepasang suami istri yang mau sembahyang di puncak. Mereka mengajak jalan bareng, karena setelah inilah, serbuan geng monyet beneran dimulai. Dan benar saja, monyet-monyet itu sangat peka dengan bunyi kresek-kresek dan langkah kaki manusia. Cukup bawa tongkat untuk mengusir mereka menjauh. Wajah kita harus cukup garang untuk mengusir monyet tersebut, karena mereka bener-bener seperti preman di kawasan sini. Setelah disibukkan dengan monyet-monyet tersebut, justru tidak terasa, akhirnya sampailah di Puncak Lempuyang Luhur. Tampak beberapa rombongan sedang berdoa di Pura Lempuyang Luhur. Gerbang Gapura tepat menghadap ke Puncak Gunung Agung. Sungguh pemandangan yang sangat istimewa. Empat jam perjalanan terbayar sudah lelahnya, menapak di mdpl tanah Bali. Tidak ada wisatawan satupun yang berkunjung hari itu, semuanya para penduduk lokal yang niatnya berdoa. Suasana masih sangat sakral disana. Kita bebas foto asal tidak membuat kegaduhan dan mengganggu jalannya upacara adat. Sampai di puncak pun ada beberapa penjaja makanan yang berjualan, menyambut pendatang yang lelah atau lapar. Awas, siap-siap rebutan dengan monyet yang tiba-tiba muncul merebut, hehehe… Perjalanan turun jauh lebih cepat, hanya memakan waktu satu jam saja. Dengan terik mentari yang mulai menyengat dan perut kosong, serasa memacu langkah lebih cepat untuk tiba di parkiran. Setelah sekian lama menjelajah Bali, tidak menyangka ada komplek pura di lereng Gunung Lempuyang ini. Bangga juga, Indonesia punya peninggalan seperti ini. Masih sakral dan alami. Semoga wisatawan nantinya yang ingin menapakai perjalanan “ritual” di komplek ini, mau turut bertanggung jawab menjaga alam dan kebersihannya. Saat ini, memang sudah mulai ramai oleh pengunjung, namun sebatas sampai di Pura Penataran Lempuyang, karena memang pemandangan dari penataran saja sudah sangat menarik. Bahkan, beberapa pemandu lokal juga menyewakan kaca, untuk mendapatkan hasil foto dengan efek mirroring, seperti kalau foto di depan danau, dimana bayangan pada air akan memantulkan gambar serupa. perjalanan berlanjut ke Desa Adat Tenganan… based on our journey on 31 Dec 2015 & 3 Jun 2018 Has published Tribun Jateng, 21 Juli 2016 Harian Surya, 13 Des 2020 Youtube Harian Surya Views 1,849
AMLAPURA Bukit Lempuyang tiap hari selalu didatangi pamedek. Bukit di wilayah timur Karangasem ini, terdapat banyak pura, dari Lempuyang Ma
Skip to content Paket WisataRental MobilSewa Bus PariwisataSewa MotorKontakTravel Blog Pura Lempuyang Pura Lempuyang Bali termasuk salah satu pura tertinggi dan tertua yang ada di Bali dengan ketinggian mencapai mdpl. Dengan ketinggian tersebut pemandangan yang terlihat dari kawasan pura terlihat begitu mempesona berhias lautan awan dan latar Gunung Agung. Banyak wisatawan yang menjadikan pura ini sebagai destinasi wisata untuk mendapatkan foto terbaik selama liburan. Dengan keindahannya tersebut tidak heran bila tempat wisata Bali satu ini selalu ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Anda bisa mengunjungi Pura ini dengan mudah menggunakan paket gathering Bali yang ditawarkan dari biro perjalanan. Namun sebelum berkunjung mari simak terlebih dahulu beberapa hal menarik mengenai Pura ini Sejarah Pura Lempuyang Berdasarkan beberapa sumber dari Babad Bali, Pura ini telah berdiri sejak abad ke-8 Masehi saat dimulainya penyebaran Hindu di Indonesia. Pura ini serta sebagian besar pura di Bali dibangun Rsi Markandeya, orang suci yang juga menyebarkan Hindu di Bali. Pembangunan Pura ini ditujukan untuk memudahkan proses penyebaran agama Hindu di sekitar Gunung Agung yang dipercaya menjadi tempat bersemayam Dewa. Nama Lempuyang sendiri berasal dari kata Lampu atau cahaya dan Hyang yang berarti tuhan sehingga memiliki arti Cahaya Tuhan. Usia Pura ini sudah cukup lama, membuatnya menjadi salah satu pura tertua dan paling awal didirikan di Bali. Pada awal pembuatannya, bangunan Pura ini masih sangat sederhana karena hanya terbuat dari batu serta sebuah pohon besar. Namun setelah tahun 2001 Pura ini telah dipugar dan memiliki bangunan yang lebih kokoh sehingga nyaman untuk ibadah dan dikunjungi. Saat berkunjung, Anda bisa melihat bagaimana kemegahan bangunan pura tertua di Bali ini dengan pemandangan indah alam sekitarnya yang mempesona. Sekilas Tentang Pura Lempuyang Pura ini bisa disebut sebagai pura tertinggi di Bali karena berada pada ketinggian kurang lebih mdpl Gunung Lempuyang. Nama asli dari pura ini adalah Pura Penataran Agung Lempuyang atau lebih dikenal dengan nama Pura Lempuyang. Pura ini masih termasuk Pura Sad Kahyangan Jagad atau enam tempat suci yang ada di Bali bersama dengan Pura Besakih. Selain Pura Agung satu ini masih banyak pura lain yang dibangun di sekitar Gunung Lempuyang atau Bukit Bisbis ini. Saking banyaknya, terkadang para pengunjung sering salah tujuan saat ingin mengunjungi Pura Penataran Agung Lempuyang yang memiliki pemandangan paling indah. Beberapa pura tersebut di antaranya Pura Madya Lempuyang, Pura Pasar Agung Lempuyang, dan yang tertinggi Pura Lempuyang Luhur. Daya tarik utama dari Pura ini adalah keindahan pemandangan yang terlihat dari ketinggian dan berbagai spot pura yang instagenic. Bahkan wisatawan asing sering menyebut bagian gapura utama menuju Pura Penataran Agung Lempuyang ini sebagai The Gate of Heaven. Pura ini memiliki tiga tingkatan namun hanya tingkatan pertama saja yang bisa wisatawan manfaatkan untuk kunjungan dan berfoto. Dua tingkatan lainnya hanya buka untuk sembahyang atau saat upacara adat berlangsung selain itu wisatawan yang datang wajib menggunakan sarung. Aktivitas Menarik di Pura Lempuyang Pura ini sudah sangat terkenal sebagai destinasi wisata yang sangat menarik untuk Anda kunjungi saat berada di Bali. Ada berbagai macam hal menarik yang bisa Anda lakukan dan temukan di Pura ini saat berkunjung berikut beberapa di antaranya Trekking Menuju Pura Lempuyang Untuk mengunjungi setiap pura yang ada di kompleks Pura ini, Anda harus melewati ratusan hingga ribuan anak tangga. Total sekitar anak tangga yang menghubungkan setiap pura yang ada di komplek ini dengan puncak Lempuyang Luhur. Perjalanan biasanya bermula dari Pura Telaga Mas dan memerlukan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan untuk tiba di Lempuyang Luhur. Selama perjalanan Anda bisa menikmati kawasan hutan sekitar yang masih asri dan terasa sejuk dengan suara kicauan burung yang terdengar. Saat cuaca cerah Anda bahkan bisa melihat dengan jelas pemandangan Gunung Agung, kota Amlapura, hingga Pantai Amed. Jika Anda ingin mengunjungi Pura Penataran Agung ada sejumlah pantangan yang harus Anda patuhi seperti tidak boleh mengumpat atau memakan babi. Mengunjungi Pura Lainnya Anak tangga yang membentang dari bawah hingga Pura ini Luhur tersambung dengan sejumlah pura lain yang ada di sekitarnya. Saat melewati anak tangga tersebut Anda bisa mampir ke pura lain yang juga memiliki banyak keindahan serta panorama menawan. Salah satunya tentu saja Pura Penataran Agung Lempuyang yang sudah sangat terkenal dengan keelokan pemandangan perkotaannya. Selain itu adapun Pura Pasar Agung Lempuyang yang terkenal dengan bangunan putih dan kawanan monyet yang sering terlihat berkeliaran. Bila Anda masih memiliki tenaga bisa lanjutkan ke puncak tertinggi, tepatnya di Pura Lempuyang Luhur berada. Dengan mengunjungi setiap pura yang ada di komplek Pura ini, Anda bisa melihat langsung bagaimana megahnya pura tertua di Bali. Berfoto di Spot Instagenic Sekitar tahun 2019 Pura ini sempat viral dengan foto instagenic yang menggambarkan pemandangan indah pura yang seperti di atas awan. Foto ini bisa Anda dapatkan dengan bantuan dari fotografer yang siap mengambil gambar menarik dari Pura ini untuk Anda. Spot yang selalu jadi pilihan wisatawan adalah spot gapura putih khas bangunan Bali yang menghadap langsung pemandangan indah Gunung Agung. Bahkan banyak wisatawan rela antre hingga berjam-jam hanya untuk bisa mendapat giliran berfoto di gapura tersebut. Selain itu Anda juga bisa berfoto di tangga menuju tingkat kedua Pura Penataran Agung Lempuyang yang terlihat begitu menawan. Dengan mengunjungi Pura ini khususnya Pura Penataran Agung Lempuyang sudah pastikan akan mendapat banyak foto menarik selama liburan. Menikmati Pemandangan Sekitar Sambil menunggu giliran Anda berfoto di Pura ini, Anda bisa menikmati pemandangan indah yang tersaji di sekitar Pura ini. Bahkan saat Gunung Agung erupsi, Pura ini menjadi salah satu lokasi paling ramai mendapat kunjungan wisatawan yang ingin melihat langsung Gunung Agung. Pesona keindahan dari Pura Penataran Agung Lempuyan juga semakin terlihat indah saat matahari terbit dan saat tenggelam. Langit yang berwarna jingga dan awan yang keemasan terkena sinar matahari tampak begitu menawan melewati celah gapura utama pura. Tidak sedikit pengunjung yang rela menunggu momen tersebut untuk bisa mendapatkan foto terbaik dan terindah di Pura ini. Semua penat dan bosan Anda dari rutinitas harian bisa hilang sendirinya dengan mengunjungi dan menikmati keindahan pura ini yang begitu menawan. Harga Tiket Masuk Pura Lempuyang Untuk masuk kawasan Pura ini Anda perlu mempersiapkan biaya yang cukup mahal per orangnya. Namun dari harga tersebut, Anda sudah bisa menikmati berbagai hal menarik dari Pura ini dengan puas. Retribusi Tarif Tiket Masuk Wisatawan Harga yang tercantum di dalam tabel sewaktu-waktu dapat berubah tergantung kebijakan dari pihak pengelola. Namun daftar di atas bisa Anda jadikan bahan pertimbangan dan perkiraan biaya yang Anda perlukan saat akan mengunjungi Pura ini. Anda juga bisa mengunjungi Tempat Wisata di Bali lainnya dengan mudah menggunakan Paket Wisata dari biro perjalanan. Paket ini juga memungkinkan Anda menikmati berbagai macam makanan khas Bali atau membeli oleh-oleh khas Bali yang Anda inginkan. Lokasi Pura Lempuyang Pura Lempuyang berada di daerah Bunutan, Abang, Seraya Barat, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem sekitar 10 km dari Tirta Gangga. Jaraknya sekitar 78 km dari Kota Denpasar dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Anda bisa mendapatkan rute terbaik menuju Pura ini dengan menggunakan petunjuk navigasi dari Google Map dari titik Anda berada. Bisa pula dengan memanfaatkan jasa sopir dari rental mobil innova Bali atau biro perjalanan yang siap mengantar Anda langsung ke lokasi. Jam Operasional Pura Lempuyang Untuk tujuan wisata Pura Lempuyang bisa Anda kunjungi setiap hari mulai pukul WITA hingga pukul WITA. Di antara jam tersebut, waktu sore menjelang matahari terbenam menjadi waktu terbaik untuk Anda mengunjungi Pura ini. Usahakan juga untuk datang saat musim kemarau atau saat cuaca cerah agar Anda bisa terhindar dari hujan saat berkunjung. Dengan begitu Anda bisa menikmati keindahan Pura ini dengan puas tanpa terganggu langit mendung atau cuaca buruk. Related PostsBagikan Artikel Ini Ke Page load link
Gintenmeninggal dunia usai mengelar sembahyangan di Pura Luhur, Banjar Dinas Purwayu, Desa Tribuana, Kecamatan Abang
Gerbang Surga di Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukBali terkenal dengan julukan pulau Seribu Pura, sehingga tidak membuat heran jika Teman Traveler dapat menemukan dengan mudah keberadaan pura-pura tersebut. Sejumlah pura juga merupakan warisan budaya masa lalu yang menyimpan berbagai kisah sejarah dan keunikan tersendiri. Salah satunya adalah Pura Lempuyang Luhur. Pura yang sangat populer dan dikenal oleh kalangan warga Hindu di Bali ini merupakan salah satu tempat ibadah penting yang ada di pulau Bali. Tidak salah jika sejumlah wisatawan juga tertarik dengan keberadaan Pura Lempuyang Luhur walaupun harus mendaki dan treking menuju puncak Gunung Lempuyang, namun tentunya akan memberikan pengalaman istimewa. Yuk lihat informasi lengkapnya di ulasan berikut ini. Pesona Pura Lempuyang Luhur Antrean Spot Foto Gerbang Surga di Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukPura Lempuyang Luhur adalah sebuah lokasi wisata religi dan merupakan kawasan sakral bagi umat Hindu di Pulau Dewata. Berlokasi di Desa Tista, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Pura Lempuyang Luhur ini berada di Puncak Bukit Bibis tepatnya 19 kilometer dari Gunung Agung, masih dalam jarak aman dari erupsi, tetapi pasca erupsi foto-foto keindahan pura ini justru semakin menarik banyak wisatawan. Gapura tertinggi yang berada di puncak bukit lempuyang ini berdiri tepat di hadapan Gunung Agung yang nampak seperti sebuah gerbang. Banyak wisatawan yang menyebutnya dengan “Gerbang Surga” karena keeksotisan yang dimilikinya. Tampak Belakang Gerbang Surga di Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukPura Lempuyang merupakan salah satu pura paling indah yang ada di Bali. Di sini Teman Traveler tidak hanya bisa melihat tingginya nilai tradisi Bali, tetapi juga menikmati keindahan Gunung Agung yang menjadi latar pura. Tidak hanya atmosfer religius yang dirasakan saat berada di kawasan pura, tapi panorama alam dan keindahan arsitekturnya juga sangat memukau. Lokasi pura ini memiliki keunikan tersendiri yaitu keindahan alam yang masih murni, terutama kawasan hutannya, pohon-pohon tropis yang tumbuh sangat subur dan lebat. Kondisinya tidak terjamah sehingga daerah lembah dan pesisir Bali sebelah timur terlihat sangat mengagumkan. Pura Tertua Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukTidak heran jika banyak turis asing maupun lokal yang mengagumi keindahan Pura Lempuyang Luhur yang ternyata adalah pura tertua di Bali. Tidak hanya itu, ternyata pura ini merupakan satu dari tiga pura terbesar di Bali selain Pura Besakih dan Pura Ulun Danu Batur. Oleh sebab itu, tempat peribadatan ini pun menjadi target kunjungan wisatawan. Tempat Sembahyang di Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukPura Lempuyang Luhur ini diperkirakan sudah ada sebelum zaman Hindu-Budha. Selain digunakan untuk tempat berdoa umat Hindu, pura ini juga menjadi destinasi wisata. Teman Traveler dapat melihat kekuatan spiritual penduduk Bali dalam hal kepercayaan. Pura lempuyang ini memiliki 3 bagian, yaitu Lempuyang Sor, Lempuyang Madya, dan Lempuyang Luhur. Akses menuju Pura Spot Foto Tampak Belakang Gerbang Surga di Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukDari Kota Denpasar, lokasi pura dapat dicapai melalui kawasan wisata Candi Dasa melewati Kota Amlapura Ibu Kota Kabupaten Karangasem, ditempuh sekitar dua jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Alternatif jalur lainya adalah melewati Kecamatan Selat Karangasem, melalui Kota Semarapura dengan mengambil jalur ke arah Jalan Besakih. Pura Lempuyang Luhur berada di puncak Gunung Lempu yang memiliki banyak pura di kawasan tersebut. Pada saat berjalan menuju puncak, Teman Traveler akan bertemu sejumlah pura, sesuai dengan rute searah yang dilalui. Terdapat 4 jalur atau rute menuju wisata ini. Rute yang populer adalah Desa Purwayu yang mana pada jalur ini, ada juga Pura Penataran Agung Lempuyang yang menjadi salah satu objek wisata populer di wilayah Karangasem yang dikenal juga sebagai ” The Gate of Heaven” karena keindahan pemandangan alam dari pura tersebut. Setelah Pura Penataran Agung Lempuyang, Pura Telaga Mas, dari Pura Telaga Mas ini, Teman Traveler akan menapaki sekitar 1750 anak tangga, kemudian bertemu dengan pura Pasar Agung Lempunyang, dan barulah yang terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan kedua dari Br. Batu Gunung, Desa bukit melewati Pura Angrekasari. Akses yang ketiga melalui Banjar Gamongan, dan akses jalan yang keempat melalui banjar jumenang. Teman Traveler bisa memilih rute mana yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan di sejumlah pura yang akan dilewati dan juga bisa mempertimbangkan juga membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat. Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan Gebyur Cipratan Sebelum Masuk Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukSebelum wisatawan berkunjung ke pura suci ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, karena lokasinya di atas gunung, ketahanan fisik perlu dipersiapkan, terlebih dahulu agar Teman Traveler kuat untuk menapaki sekitar 1750 anak tangga untuk mencapai wisata pura yang populer ini. Selain itu terdapat beberapa tantangan yang harus di patuhi oleh pengunjung yang datang, seperti tidak boleh berkata kasar dalam perjalanan menuju lokasi, tidak boleh dalam keadaan berduka seperti keluarga meninggal, wanita yang sedang datang bulan, wanita yang sedang menyusui, anak kecil yang giginya belum tanggal, tidak diperbolehkan membawa atau makan daging babi di lokasi, dan konon kata “lelah” pantang diucapkan di sini, konon katanya tidak akan sampai ke puncak. Loket Masuk ke Pura Lempuyang Luhur c Atmakhati/TravelingyukSelain itu, Teman Traveler yang masuk harus di gebyur cipratan air suci. Pura ini memiliki tantangan tersendiri untuk mencapai puncaknya. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah saat pagi. Sebelum matahari terbit, yakni sekitar pukul 0500, atau datang sesaat sebelum matahari tenggelam juga tak kalah menarik. Untuk tiket masuk ke Pura Lempuyang Luhur ini gratis, Teman Traveler hanya perlu membayar donasi seikhlasnya dan menyediakan uang untuk menyewa sarung, karena semua pengunjung wajib memakai sarung adat Bali ketika berada dilingkungan pura. Advertisement Tags Pura Lempuyangan Luhur Pura Lempuyangan Luhur Bali Wisata Pura di Bali
913k members in the indonesia community. Selamat datang di subreddit kami! Welcome to our subreddit! Please follow rules and respect others. Feel
Pura ini terletak di puncak bukit Bisbis, termasuk wilayah kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem, sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Icwara. Pura ini berstatus sebagai salah satu “Sad Kahyangan Jagad” sehingga dengan demikian jelas bahwa pura ini merupakan penyungsungan jagat yg terletak pada arah timur pulau Bali. Dengan demikian dilihat dari segi letak, dapat dijelaskan bahwa fungsi dari pura ini sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa turunnya “Bhatara Tiga” pada zaman dahulu dari gunung Semeru di Bali dan kejadian-kejadian sesudah peristiwa tersebut. Dari sekian banyak sumber , ada baiknya dikutip tiga buah diantaranya, yaitu 1. Babad Pasek Di Dalam Babad Pasek ini antara lain diuraikan demikian Malawas lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih Kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih tahun icaka 113, malih makepelug hyanghing tolankir, mijil Bhatara Putrajaya tumut arin Ida Bhatari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh, aparhyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aparhyangan maring giri Lempuyang duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de Bhatara Pacupati “Kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, agelah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”, mangkana andika Bhatara Pacupati, neher matilar Bhatara Tiga, anging hana atur ira ”Singgih Hyang Bhatara dening nanak Rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahar Bhatara Pacupati, ling ira ”Aja walat hati hulun lugraha maka awantha, apan kita anang manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput bhatara tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pacupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara, awtning takya ajnanan, wus mangkana lumaku Bhatara Tiga, raris dteng arnawan awan ira, mangkana pawijilan bhatara nguni…..dan seterusnya Artinya kurang lebih seperti berikut Lama kelamaan berumur dunia ini 70 tahun, pada hari Sukra Keliwon, wara Tolu, sasih Kalima sekitar bulan November tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar sambung menyambung, gempa bumi, selama 2 bulan, tahun icaka 113 tahun 191 M, lagi meletus gunung Agung tersebut. Keluar Bhatara Putrajaya, ikut adik beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih, dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun Danu sedang Bhatara Gnijaya berparhyangan d gunung Lempuyang. Tatkala berangkat Bhatara Tiga di perintahkan oleh Bhatara Pacupati “Kamu Mahadewa dan Danuh, Gnijaya segera kamu kuperintahkan sekarang juga, datang di pulau Bali, supaya menjadi stabil pulau Bali, kamu sebagai pimpinan bali, demikian bersabda Bhatara Pacupati, lalu berangkat Bhatara Tiga, akan tetapi ada atur beliau “Ya Hyang Bhatara oleh karena putera Rahadyan Bhatara masih anak-anak, belum mengetahui pada jalan”, demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pacupati, sabda beliau ”Jangan susah hati akan kuberikan petunjuk jalan, sebab kamu anakku, junjunglah terimalah olehmu untuk dimuliakan di Bali, sesudah demikian lalu dibungkus Bhatara Tiga, dengan kepala gading oleh Bhatara Pacupati, setelah dibungkus, digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan bathin, dan sesudah apa berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan beliau, dengan demikian tibanya Bhatara dahulu……dan seterusnya. 2. Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul Didalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsulada disinggung mengenai Lempuyang, yang antara lain disebutkan sebagai berikut Na wuwus Sanghyang Paramecwara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijayacakti, ling ira ”Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stanata sowing-sowang, ginawe Kahyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana katemu denta gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas mapucak manik, adasar ratna kopala winten, akrikilmirah, apasir podhi, ya tika agran ira Hyang Mahameru gnuni, ingsun, ingsun, ginawa mareng bangsul, sun parah tiganen, kang sabagi dadi gunung Batur, maka dadi daour candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sabagi isornya, sundadya akna gunung Rinjani, ikang pucuk dadi ira dadi Hyang Tolangkir, ngaran gunung sasor nikang gunung Agung ika lwirnya, saka purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, gunung Tasahi, kulonya gunung Pangelengan, kulonya gunung Mangu, kulonya gunung Cilanjana, kulonya gunung Beratan, kulonya gunung Watukaru, kulonya mwah pagunungan Nagaloka, kulonya mwah, nga, gunung Pulaki, mangidul Wetan sakeng rika hana gunung Pucaksangkur, Bukit Rangda, tratebang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana gunung Andakasa mwang Huluwatu, terus mangetana maring ghneya desan ira hana gunung Byaha, mwang Byasmuntig, ikang maring Purwa hana gunung Lempuyang, mangalora saka rika hana gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring bangsul, ndan makweh kari geger kang maring madya, tan ucapa akna. Ika ta kabeh wenang maka ungguhaning dharma kahyangan para Dewata kita makabehan. Artinya kurang lebih demikian Demikian sabda Sanghyang Paramecwara kepada puteranya para dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang Gnijaya cakti, sabda beliau “Wahai anakku kamu sekalian, kamu kusuruh datang di daerah Bali, menjaga pulau bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat kahyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah Bali, yang adanya itu berkat yoghaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk puncaknya, dan aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagian-bagiannya, menjadi pecahan besar kecil kemudian ditempatkan di daratan, serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan, selamat di Bali, demikianlah anakku engkau dewata sekalian, kamu akan jumpai gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di sebelah timur laut, itu lah gunung mas yang berpuncak manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah,berpasir padi, itulah puncaknya gunung Hyang Mahameru dahulu, aku, aku bawa gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, yang sebagian di bawahnya, aku jadikan gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tolangkir, bernama gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan, dibawah gunung Agung itu seperti, dari Timur menghitunganya, akan diketahui namanya, yaitu gunung Tasahi, di baratnya gunung Pangelengan, dibaratnya gunung Mangu, di baratnya gunung Cilanjana, di baratnya gunung Beratan, di baratnya gunung Batukaru, di baratnya lagi gunung Pulaki, ke tenggara dari sana terdapat gunung Puncaksungkur, bukit Rangda, Trate bang, kesebelah timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan, ada gunung Andakasa dan Huluwatu, terus ke timur di sebelah tenggara tempatnya ada gunung Byaha dan Byasmunting, yang di sebelah timur ada gunung Lempuyang, ke sebelah utara dari sana ada gunung Sraya, demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah, yang tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Kahyangan para dewata kamu kalian. 3. Prasasti Desa Sading Di dalam prasasti desa Sading antara lain disebutkan bahwa gunung Lempuyang juga disebut “Andri Karang” yang bermakna gunung Karang, dan disana Raja Jayacakti melakukan Samadhi yang akhirnya dalam sejarah perjalannya lebih dikenal dengan sebutan “Karangasem”. Mengenai gunung Lempuyang ini juga erat kaitannya dengan datangnya Raja Jayacakti di Bali, yang dikisahkan sebagai berikut Pada sekitar tahun icaka 1072 tahun 1150 M pada sasih Kasanga, tanggal ping 12, bertepatan dengan bulan separoh terang, wara Julungpujut, Cri Maharaja Jayacakti menyelenggarakan rapat dengan para pimpinan perang utama Rakryan Apatih dan dibawah Rakryan, pada suatu rapat besar, raja berkehendak pergi ke pulau Bali bersama degnan permaisurinya, dan beliau berkeinginan beristana di “Ardri Karang”. Beliau dating ke bali ikut karena ada perintah dari ayah beliau yaitu Sanghyang Guru, dengan tujuan untuk membuat dharma disana di gunung Lempuyang sebagai penyelamat pulau bali, disertai oleh segenap Pandita Ciwa dan Budha, dan Uga Mantri Agung ikut. Disanalah Raja Cri Jayacakti dijadikan raja oleh masyarakat. Tidak senanglah beliau dijadikan raja, oleh karena beliau bertingkah laku baik dan tidak digoyahkan oleh pikiran tamak, loba, ataupun pikiran pamerih didalam masyarakat, segenap abdinya sangant menghormati, sebab beliau raja yg berhasil dan sempurna dalam disiplin bathinnya. Adapun selaku abdinya jumlahnya tidak terhitung banyaknya, dan mantrinya saja yang menghitung, mengatur yaitu berjumlah 400 orang termasuk pasukan dari Jawa. Beliau juga disebut Maharaja Bima ialah Cri Bayu atau Cri Jaya atau Cri Gnijayacakti. Selanjutnya disebutkan sebagai berikut. Dari ketiga buah sumber tersebut dapat diketahui, bahwa sebagai awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat kaitannya dengan tibanya Bhatara Tiga di bali, dimana antara lain disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di di Bali pada hari Jumat Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih bulan Kalima pada tahun icaka 113 sekitar November 191. Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa diantara Bhatara Tiga itu Bhatara Gnijaya berparhyangan di gunung Lempuyang bukit bisbis. Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung Semeru Jawa Timur atas perintah Bhatara Pacupati, untuk dijadikan junjungan pulau Bali. Sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian seperti tibanya Raja Cri Jayacakti yang kemudian bersemedhi disana adalah merupakan kelanjutan dan kelengkapan semata-mata. Di Pura Lempuyang Luhur ini terdapat suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan dan bersifat khusus ialah dengan terdapatnya serumpun bambu “Buluh Gading”. Di dalam ruas-ruas bambu ini akan didapat “tirta” air suci yang lazim disebut “Tirta Pingit”, karena tidak setiap orang yang dating sembahyang kesana akan memperolehnya, melainjkan hanya suatu kelompok keturunan saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga lainnya tidak mungkin. Pangempon Pura Lempuyang Luhur ialah seluruh kerama desa Puraayu, adapun susunan, jumlah dan nama palinggih bangunan suci yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai berikut Sebuah Padmasana yang terletak pada bagian Utara menghadap ke Selatan sebagai parhyangan Bhatara Luhuring Akasa Dua buah palinggih berbentuk seperti padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak pada bagian Timur menghadap ke Barat. Yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang Gnijaya dan yang di sebelah Selatan sebagai Parhyangan para putera beliau. Sebuah Bale Pawedhan atau Phyasan sebagai tempat meletakkan sajen dan sekaligus sebagai Bale Pawedhan tempat memuja. Sebuah bangunan Gedong Pasimpenan, sebagai tempat menyimpan alat-alat upacara. Palinggih yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur, lazim juga disebut Kahyangan “Tri Purusa” yaitu Ciwa, Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa sebagai perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Upacara aci atau pujawali di Pura Lempuyang Luhur ada dua jenis yaitu setiap enam bulan Bali 210 hari bertepatan dengan hari Kamis Umanis, wara Dungulan Umanis Galungan dan pada setiap Purnamaning Wesaka Purnama sasih kadasa. Pemangku dari Pura Lempuyng Luhur ini selalu dijabat oleh satu keturunan secara tradisional menurut garis purusa patrilinial, sedang mengenai “pengangge” yang dipergunakan di Pura Lempuyang Luhur ini selalu berwarna putih dan kuning. Bilamana aka diselenggarakan upacara aci atau piodalan seluruh bahan-bahan ramuan disediakan oleh para “Truna” pemuda, sedangkan yang mengerjakannya adalah para “ “Daha” krandan ialah para wanita remaja. Ini dimaksudkan agar, semuannya bersifat suci, karena rohaniah, walaupun kadang-kadang hal ini belum dapat sebagai jaminan mengenai kesucian tersebut. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Bagaimana cikal bakal berdirinya Pura Lempuyang? Ada sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang. Paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung Lempuyang. Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali 1998 berjudul ”Lempuyang Luhur” disebutkan, lempuyang berasal dari kata ”lampu” artinya sinar dan ”hyang” untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang mencorong/ menyorot. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Versi lain menilik ”lempuyang” sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk sejenis tanaman untuk bumbu. Hal itu juga dikaitkan ada banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan, keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata ”empu” atau ”emong” yang diartikan menjaga. Batara Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai gunjangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bathara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir Gunung Agung dengan parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang. Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk pura paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar, sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian meningkat. Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi — pemangku di pura itu — mengatakan orang Bali apa pun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat dan bahkan pendek umur. Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut ”Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa.” Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini. Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ”Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,” ujar Jero Mangku. Pengayah Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari Desa Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh dan Batara Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di sekitarnya, seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten. Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna pemuda dan krandan remaja putri. Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon mensucikan diri di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan. * gde budana Langgar Pantangan, Bisa ”Sengkala” ADA sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan. Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat. Jero Mangku mengatakan, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ”Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,” ujar Jero Mangku. Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius. ”Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru,” kata lulusan APGAH ini. Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ”Sampah terutama sampah plastik hendaknya dibawa atau dibuang di tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada Tuhan bukan cuma lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,” katanya. Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang berketinggian lebih dari meter. Ada yang mengatakan tangga, ada juga yang mengatakan Sementara itu, dosen STKIP Agama Hindu Amlapura Drs. IP Arnawa, mengatakan, cuma bersembahyang –insidental — ke Pura Lempuyang Luhur disebutkan tak harus melakukan pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke Lempuyang Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik menuju Pura Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga berangsur disucikan. Soalnya, ribuan kali menghela napas seperti saat pranayama, keringat keluar. ”Sembahyang sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual. Umat yang benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Parisudha yang mampu dengan mudah mampu mencapai Pura Luhur. Jika ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan, seperti kepayahan bahkan terjatuh di jalan,” ujar Arnawa. Empat Jalur Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali 1998, bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur. Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung panyawangan terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung penyawangan dan naik ke Lempuyang Luhur. Memuja Sang Hyang Iswara Om Asato ma sadgamaya Tamaso ma jyotir gamaya Mrtyor ma amrtam gamaya. Brhad Aranyaka Upanisad Artinya Tuhan bimbinglah kami dari ketidakbenaran asat menuju jalan kebenaran satya yang sejati. Bimbinglah kami dari kegelapan tamasa menuju jalan yang terang benderang jyotih. Bimbinglah kami dari kematian rohani mrta menuju kehidupan yang kekal abadi amrtam. Pura Lempuyang Luhur terletak di bagian timur Pulau Bali. Tepatnya di Desa Purahayu Kecamatan Abang, Karangasem. Di Bukit Gamongan atau Bukit Bisbis atau Gunung Kembar berdiri hening Pura Lempuyang Luhur. Menurut buku Upadesa, pura ini salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali, tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara. Memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara sebagai pelindung arah timur - arah terbitnya matahari. Dewa sinar matahari itu disebut juga Dewi Savita atau Dewi Savitri. Pemujaan pada Sang Hyang Iswara untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup jyotir. Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Brhad Aranyaka Upanisad di atas bahwa dengan sinar suci yang disebut jyotir itu kita akan melepaskan jiwa dari kegelapan yang disebut tamasa. Dari kehidupan yang jyotir atau jiwa yang cerah itulah kita bebas dari kematian rohani menuju kehidupan yang sejati yang disebut amrtam. Pura Lempuyang Luhur dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan pada abad ke-11 Masehi saat Mpu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. Pura Sad Kahyangan didirikan untuk melindungi Bali agar masyarakatnya tetap melakukan hal-hal yang dibenarkan menurut ajaran agama. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Jambhudwipa India, dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Gunung Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi leretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut antara lain Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya dan Gunung Lempuhyang. Dalam bahasa Jawa Kuno Lempuhyang artinya ''gamongan''. Dibawanya leretan gunung-gunung yang mengelilingi Pulau Bali ini oleh Sang Hyang Parameswara sebagai stana para dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul itu juga dinyatakan bahwa Sang Parameswara menugaskan putranya Sang Hyang Agnijayasakti turun ke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan berstana di Gunung Lempuhyang atau Gunung Gamorangan bersama dengan dewa-dewa lainnya. Dalam prasasti Sading C tahun 1072 Saka dinyatakan bahwa Gunung Lempuhyang juga bernama Gunung Adri Karang. Di Gunung Adri Karang inilah Raja Jayasakti bersemadi, karena itulah gunung itu juga bernama Karangsemadi. Raja Jayasakti diperintahkan oleh ayah beliau Sang Hyang Guru untuk turun ke Bali membangun pura agar menjadi daerah yang aman dan sejahtera. Raja Jayasakti mengajak para pandita dan para pembantunya serta rakyat untuk mewujudkan perintah Sang Hyang Guru membangun Bali dengan diawali pembangunan pura di Gunung Lempuhyang sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara. Sebelumnya Raja Jayasakti melakukan semadi sebagai langkah awal membangun kehidupan yang aman sejahtra di Bali. Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan bahwa citta atau alam pikiran itu memiliki empat kekuatan yaitu dharma, jnyana, variragia dan aiswaria. Jadi, aiswaria itu adalah salah satu kekuatan untuk terus mendorong hati nurani umat manusia agar terus meningkatkan pencerahan diri sebagai sinar suci menuntun hidup menuju yang semakin suci untuk mewujudkan kebenaran dan keharmonisan. Karena itulah Iswara sering juga diartikan pemimpin. Idealnya pikiran yang cerah itulah ibarat sinar yang menerangi hidup manusia sehingga bisa hidup mengatasi kegelapan hati. Karena itu di Pura Besakih ada Pura Gelap untuk memuja Sang Hyang Iswara di arah timur Pura Penataran Agung Besakih. Kata ''gelap'' atau ''kilap'' dalam bahasa Jawa Kuno artinya sinar. Bukan berarti gelap seperti dalam bahasa Indonesia. Karena itulah dari Pura Lempuyang inilah Raja Jayasakti mendapatkan sinar terang kerohanian untuk memimpin di Bali bersama dengan para pembantu dan rakyatnya dengan waranugeraha Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara, pemelihara dan pelindung arah timur alam semesta. Dari Pura Lempuyang inilah dipancarkan sinar kepemimpinan religius untuk menerangi jiwa raga rakyat Bali mewujudkan cita-cita hidupnya membangun Bali yang aman sejahtera. * Ketut Gobyah
7wy2i. 96lj8p7wih.pages.dev/36796lj8p7wih.pages.dev/1596lj8p7wih.pages.dev/41996lj8p7wih.pages.dev/11996lj8p7wih.pages.dev/17996lj8p7wih.pages.dev/13796lj8p7wih.pages.dev/39796lj8p7wih.pages.dev/319
urutan sembahyang di pura lempuyang